Sabtu, 02 Juli 2011

Global Warming, Climate Change, dan Perkembangan Vektor Borne Disease

Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi tersebut. Konvensi Perubahan Iklim telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994. Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sehingga terjaminnya ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim atau pemanasan global adalah peningkatan suhu udara di permukaan bumi dan di lautan yang dimulai sejak abad ke-20 dan diprediksikan akan terus mengalami peningkatan. Sebagian besar ilmuwan lebih menggunakan terminologi perubahan iklim daripada pemanasan global karena yang terjadi tidak hanya fenomena bertambah panasnya suhu udara, tetapi juga iklim yang berubah.
Radiasi yang dipancarkan oleh matahari, menembus lapisan atmosfer dan masuk ke bumi. Radiasi matahari yang masuk ke bumi -dalam bentuk gelombang pendek- menembus atmosfer bumi dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun, tidak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar karena sebagian dihadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer yang disebut gas rumah kaca (GRK). Akibatnya radiasi matahari tersebut terperangkap di atmosfer bumi. Karena peristiwa ini berlangsung berulang kali, maka kemudian terjadi akumulasi radiasi matahari di atmosfer bumi yang menyebabkan suhu di bumi menjadi semakin hangat. Arus angin dan laut lalu memindahkan panas ini ke segala penjuru bumi. Pergerakan tersebut mendinginkan beberapa wilayah, memanaskan beberapa wilayah lainnya, dan mengubah jumlah curah hujan dan salju yang turun ke suatu tempat. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pola iklim global.
Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Gas ini berkemampuan untuk menyerap radiasi matahari di atmosfer sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi lebih hangat. Meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer akibat aktivitas manusia pada akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi secara global. Dalam Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCCC), ada enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs).
Suhu rata-rata udara di permukaan Bumi meningkat 0,75ºC pada abad lalu, tetapi naiknya berlipat ganda dalam 50 tahun terakhir. Badan PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), memproyeksikan bahwa pada tahun 2100 suhu rata-rata dunia cenderung akan meningkat dari 1,8ºC menjadi 4ºC, dan skenario terburuk bisa mencapai 6,4ºC, kecuali dunia mengambil tindakan untuk membatas emisi gas rumah kaca. Selama zaman es terakhir sekitar 11.500 tahun yang lalu, suhu rata-rata dunia hanya 5ºC lebih rendah daripada suhu udara sekarang, dan saat itu hampir seluruh benua Eropa tertutup lapisan es tebal.
 
Penyebab Pemanasan Global 
Pemanasan global merupakan fenomena global yang disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia, pertambahan populasi penduduk, serta pertumbuhan teknologi dan industri. Oleh karena itu peristiwa ini berdampak global. Aktivitas manusia yang dapat menimbulkan efek gas rumah kaca dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu: 
  1. Kerusakan hutan termasuk perubahan tata guna lahan. Salah satu fungsi tumbuhan yaitu menyerap karbondioksida (CO2), yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca, dan mengubahnya menjadi oksigen (O2). Kerusakan hutan terutama disebabkan oleh penebangan liar, kebakaran hutan (yang disengaja dan tidak disengaja), perkebunan skala besar serta kerusakan- kerusakan yang ditimbulkan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi GRK (biasa juga disebut emisi karbon). Hutan dapat menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis GRK, menjadi oksigen (O2) yang merupakan kebutuhan utama bagi mahluk hidup. Ini berarti dengan luasan hutan Indonesia yang cukup luas, sekitar 144 juta ha (tahun 2002), sudah tentu emisi karbon yang dapat diserap jumlahnya tak sedikit, sehingga laju terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim dapat dihambat.
  2. Pemanfaatan energi fosil. Sektor industri merupakan penyumbang emisi karbon terbesar, sedangkan sektor transportasi menempati posisi kedua. Menurut Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2003), konsumsi energi bahan bakar fosil memakan sebanyak 70% dari total konsumsi energi, sedangkan listrik menempati posisi kedua dengan memakan 10% dari total konsumsi energi. Dari sektor ini, Indonesia mengemisikan gas rumah kaca sebesar 24,84% dari total emisi gas rumah kaca. Indonesia termasuk negara pengkonsumsi energi terbesar di Asia setelah Cina, Jepang, India dan Korea Selatan. Konsumsi energi yang besar ini diperoleh karena banyaknya penduduk yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energinya, walaupun dalam perhitungan penggunaan energi per orang di negara berkembang, tidak sebesar penggunaan energi per orang di negara maju.
  3. Pertanian dan peternakan. Sektor ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca melalui sawah-sawah yang tergenang yang menghasilkan gas metana, pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman, dan pembusukan sisa-sisa pertanian, serta pembusukan kotoran ternak. Dari sektor ini gas rumah kaca yang dihasilkan yaitu gas metana (CH4) dan gas dinitro oksida (N20).  Di Indonesia, sektor pertanian dan peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 8.05 % dari total gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer.
  4. Sampah. Sampah menghasilkan gas metana (CH4). Diperkirakan satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Sampah merupakan masalah besar yang dihadapi kota-kota di Indonesia. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 0,8 kg/hari dan pada tahun 2000 terus meningkat menjadi 1 kg/hari. Dilain pihak jumlah penduduk terus meningkat sehingga, diperkirakan, pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan mencapai 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Dengan jumlah ini maka sampah akan mengemisikan gas metana sebesar 9500 ton/tahun. Dengan demikian, sampah di perkotaan merupakan sektor yang sangat potensial, mempercepat proses terjadinya pemanasan global.
Dampak Pemanasan Global Terhadap Kesehatan
Perubahan suhu global akan berdampak pada perubahan iklim dan akan menambah daftar risiko kesehatan lingkungan bagi manusia. Sebagai akibat terjadinya pemanasan global, akan terjadi peristiwa kenaikan temperatur global yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara dan selatan sehingga mengakibatkan terjadinya pemuaian massa air laut, kenaikan permukaan air laut dan masuknya atau merembesnya air laut ke air tanah, dan terjadi pergeseran musim sebagai akibat dari adanya perubahan pola curah hujan.  Perubahan iklim mengakibatkan intensitas hujan yang tinggi pada periode yang singkat serta musim kemarau yang panjang. Di beberapa tempat terjadi peningkatan curah hujan sehingga meningkatkan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor, sementara di tempat lain terjadi penurunan curah hujan yang berpotensi menimbulkan kekeringan. Sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang makin tajam. 
Paparan terhadap perubahan-perubahan lingkungan di atas dapat menimbulkan berbagai problem kesehatan, seperti penyakit-penyakit terkait suhu dan cuaca ekstrim, penyakit yang menular lewat makanan, air dan vektor serta penyakit akibat pencemaran udara. dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain. Intensitas hujan yang tinggi dengan periode yang singkat akan menyebabkan bencana banjir. Jika terjadi banjir maka akan mengkontaminasi persediaan air bersih. Pada akhirnya perubahan iklim juga berdampak pada mewabahnya penyakit seperti diare dan leptospirosis yang biasanya muncul pasca banjir. Sementara kemarau panjang juga berdampak pada timbulnya krisis air bersih. Sehingga juga berdampak pada wabah penyakit diare dan juga penyakit kulit.
Selain itu, kebakaran hutan juga menghasilkan kualitas udara yang buruk dan menurunkan derajat kesehatan penduduk di sekitar lokasi. Peristiwa kebakaran hutan tahun 1997 mengakibatkan sekitar 12,5 juta populasi (di delapan provinsi) terpapar asap dan debu (PM10). Penyakit yang timbul adalah asma, bronkhitis dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Diduga kebakaran hutan juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan bagi wanita (Tempo, 27 Juni 1999). Menurunnya kesehatan penduduk mengakibatkan kerugian berupa hilangnya 2,5 juta hari kerja. Kebakaran hutan juga menyebabkan kematian sebanyak 527 kasus (KLH, 1998)

Perubahan Iklim dan Vector Borne Disease
 Sebagai sebuah fenomena global, dampak pemanasan global dirasakan oleh seluruh manusia di dunia, termasuk Indonesia. Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, menempatkan Indonesia dalam kondisi yang rentan menghadapi terjadinya pemanasan global.
Penularan beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor iklim, khususnya suhu, curah hujan, kelembaban, permukaan air, dan angin. Begitu juga dalam hal distribusi dan kelimpahan dari organisme vektor dan host intermediate. Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector borne disease) seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim. Pemanasan iklim global terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia akan meningkatkan kelembaban udara yang tinggi lebih dari 60% dan merupakan keadaan dan tempat hidup yang ideal untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, Anopheles dan Culex.
Kenaikan suhu udara akan menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek sehingga nyamuk makin cepat untuk berkembangbiak. Meningkatnya kejadian vector borne disease terjadi karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (nyamuk), virus, bakteri, dan plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang targetnya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perubahan ekosistem yang ekstrem ini. Hal ini juga terkait dengan musim hujan tidak menentu sepanjang tahun.
Diperkirakan bahwa rata-rata suhu global akan meningkat 1,0° - 3,5° C pada tahun 2100, yang akan meningkatkan jumlah vector-borne disease dan terjadinya transmisi penyakit. Perubahan iklim akan memiliki dampak jangka panjang dan jangka pendek terhadap transmisi penyakit malaria. Dalam jangka pendek dapat dilihat pada suhu dan curah hujan. Udara panas dan lembab paling cocok untuk nyamuk Anopheles.
Dulu, nyamuk Anopheles lebih sering muncul di musim pancaroba, transisi antara musim hujan dan kemarau. Namun kini rentang waktu serangan nyamuk ini hampir sepanjang tahun. Udara panas lembab berlangsung sepanjang tahun, ditambah dengan sanitasi buruk yang selalu menyediakan genangan air untuk bertelur, sehingga nyamuk Anopheles dapat menyerang sewaktu-waktu secara ganas. WHO menjelaskan bahwa kontribusi perubahan iklim terhadap kasus malaria mencapai 6% di sejumlah negara. Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa inkubasi intrinsik. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi intrinsik, begitu juga sebaliknya. Siklus hidup nyamuk makin pendek, populasinya mudah meledak dan penularan semakin cepat. Sejak tahun 1988, terdapat sejumlah laporan mengenai epidemi malaria di Afrika Selatan dan Timur. Selama periode ini terjadi peningkatan suhu sekitar 2° C pada rata-rata suhu maksimum bulanan antara daerah pada 2° LU - 2° LS dan 30° BB - 40° BT.
Selanjutnya epidemi malaria yang berhubungan dengan iklim juga dilaporkan di Rwanda, Tanjania dan Kenya Barat. Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan (breeding places). Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya Anopheles.
Banyak tempat kejadian malaria berhubungan dengan musim hujan, namun korelasinya tidak selalu jelas dan terkadang anomali. Hujan akan menguntungkan perkembang biakan nyamuk jika tidak terlalu deras, karena bila terlalu deras akan membilas larva nyamuk. Namun di daerah lain, musim kemarau justru menyebakan epidemi malaria, juga sebaliknya di daerah lain dapat melenyapkan nyamuk Anopheles. Variasinya amat beragam, sehingga pengaruh hujan hanya dapat diperkirakan hubungannya dalam pola lokal perkembang biakan vektor.
Hujan juga dapat meningkatkan kelembaban relatif, sehingga memperpanjang usia nyamuk dewasa. Curah hujan minimum yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang adalah 1,5 mm per hari. Curah hujan 150 mm per bulan mengakibatkan perkembangan yang pesat populasi An. gambiae, vektor malaria di Kenya (Malakooti, dalam Susanna, 2005). Suwasono dalam Susanna (2005) dalam studinya di Kabupaten Kulonprogo, menunjukkan bahwa kasus malaria meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang relatif tinggi.
Perubahan iklim sudah mulai terasa dampaknya bagi umat manusia. Oleh karena itu diperlukan beberapa upaya untuk mengurangi laju perubahan iklim. Upaya-upaya ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu pemerintah. Perlu integrasi dari berbagai pihak yang terkait antara pihak pemerintah dengan pihak industri dan masyarakat, baik itu dalam hal sosialisasi agar masyarakat dapat mulai paham akan isu perubahan iklim, maupun program aksi nyata untuk memperlambat laju perubahan iklim.

Referensi
Armely M, dkk. (2004). Bumi Makin Panas. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Yayasan Pelangi Indonesia.
Dini, A. M. V, Rina N. F, Ririn A. W. (2010). Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam Berdarah. Makara Kesehatan , 31-38.
Susanna, D. 2005 Pola Penularan Malaria Di Ekosistem Persawahan, Perbukitan Dan Pantai (Studi di Kabupaten Jepara, Purworejo Dan Kota Batam). Disertasi. Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
www.infopemanasanglobal.wordpress.com. (2009, Maret 8). Retrieved Juni 25, 2011
www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global. (2011). Retrieved Juni 25, 2011

Jumat, 26 Maret 2010

Dampak Gas Klorin Terhadap Kesehatan


Klorin adalah unsur kimia ketujuh tertinggi yang diproduksi di dunia. Digunakan sebagai alat pemutih pada industri kertas, pulp, dan tekstil, untuk manufaktur pestisida dan herbisida, misalnya DDT, untuk alat pendingin, obat farmasi, vinyl (pipa PVC), plastik , bahan pembersih, dan untuk pengolahan air bersih dan air limbah. Supaya bisa dipakai, klorin sering dikombinasikan dengan senyawa organik (bahan kimia yang mempunyai unsur karbon) yang biasanya menghasilkan organoklorin. Organoklorin itu sendiri adalah senyawa kimia yang beracun dan berbahaya bagi kehidupan karena dapat terakumulasi dan persisten di dalam tubuh makhluk hidup. Kasus kebocoran gas klorin banyak terjadi di industri karena kesalahan a ataupun kecelakaan. Hal ini menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Gas klor adalah salah satu tunggal yang paling umum, mengganggu, inhalasi eksposur, occupationally dan lingkungan. Pada tahun 1983, diperkirakan 191.000 pekerja AS beresiko terkena klorin dalam berbagai bentuk. Dalam penelitian terbaru dari 323 kasus paparan inhalasi dilaporkan kepada pusat pengendalian racun, sumber tunggal terbesar pemaparan (21%) ini disebabkan oleh mencampur pemutih dengan produk lain. Gas Klorin (Cl2) adalah gas berwarna kuning kehijauan dengan bau sangat menyengat. Berat jenis gas klorin 2,47 kali berat udara dan 20 kali berat gas hidrogen klorida yang toksik. Klorin dapat larut dalam air dan mudah bereaksi dengan unsur lain. Klorin  tergolong unsur halogen (pembentuk garam) dan dapat bersenyawa dengan hampir semua unsur. Dalam dunia industri, klorin banyak digunakan secara luas dalam pembuatan produk sehari-hari. Dengan daya desinfektan yang lebih efektif dari bromium dan yodium, klorin digunakan untuk desinfeksi air bersih dan air minum hampir di seluruh dunia dan dalam proses sanitasi untuk pembuangan limbah industri. Dalam produksi kertas dan kain, klorin digunakan sebagai agen bleaching. Klorin juga digunakan dalam pengolahan klorida, diklorinasi pelarut, pestisida, polimer, karet sintetis, dan pendingin, dan produk pembersih, termasuk rumah tangga (produk pemutih klorin yang dilarutkan dalam air). Akan tetapi, disamping banyak manfaat dalam berbagai bidang, klorin merupakan salah satu gas golongan halogen yang memiliki hazard yang tinggi terhadap kesehatan. Klorin dapat mengiritasi sistem pernapasan. Bentuk gasnya mengiritasi lapisan lendir dan bentuk cairnya bisa membakar kulit. Baunya dapat dideteksi pada konsentrasi sekecil 3.5 ppm dan pada konsentrasi 1000 ppm berakibat fatal setelah terhisap dalam-dalam.  Kenyataannya, gas klorin digunakan sebagai senjata kimia di Ypres, Prancis, pada Perang Dunia I tahun 1915. Dari 70.552 tentara Amerika yang terpapar berbagai gas beracun dalam Perang Dunia I, 1.843 tewas akibat terpajan gas klorin.

Sumber 
Dari berbagai kegunaan gas klorin, terdapat sumber-sumber yang berpotensi memberikan pajanan gas klorin kepada manusia. Sumber-sumber paparan antara lain :
·   Industri produk pemutih (bleaching), seperti pemutih pakaian.
·   Pengolahan limbah
·   Rumah tangga yang tanpa disengaja atau disadari mencampurkan larutan pembersih yang mengandung hipoklorit dengan zat asam
·   Rilis transportasi
·   Penggunaan tablet klorinasi untuk kolam renang
·   Kebocoran atau kecelakaan pada tangki penyimpanan gas
·   Senjata kimia

Mekanisme Keterpajanan 
Klorin dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa jalur, yaitu absorbsi, ingesti dan inhalasi.
·        Absorpsi melalui kulit.
Klor dapat diserap melalui kulit dan menyebabkan luka bakar mulai dari ringan sampai berat tergantung pada panjang kontak. Korban juga mengalami rasa sakit, peradangan atau pembengkakan, dan lecet. Gejala yang ditampilkan oleh kulit terkena cairan klorin dapat mencakup radang dingin atau kematian jaringan.
·        Absorpsi melalui mata.
Klor juga dapat diserap melalui mata dan menyebabkan terbakar atau ketidaknyamanan, tidak teratur berkedip, tak sadar penutupan kelopak mata, kemerahan, dan merobek. Jumlah besar klorin di udara dapat menyebabkan mata parah luka bakar, nyeri, dan penglihatan kabur.
·        Ingestion.
Klor dapat menyebabkan cedera jaringan jika tertelan.
·        Inhalasi.
Cara yang paling umum untuk klorin untuk memasuki tubuh adalah melalui sistem pernapasan. Tanda dan gejala klorin inhalasi dapat termasuk:
·       Napas cepat dan sulit
·       Warna kulit kebiruan
·       Napas terengah-engah
·       Batuk
·       Mual dan pusing
·       Terbakar, iritasi tenggorokan
·       Pembengkakan atau penyempitan saluran pernapasan
·       Mengimbas pada pneumonia
·       Paru mungkin kolaps
Ketika memasuki tubuh sebagai akibat pernapasan, tertelan, atau kontak kulit, klorin akan bereaksi dengan air dalam tubuh untuk menghasilkan asam klorida yang bersifat korosif. dan merusak sel-sel dalam tubuh saat terjadi kontak. Asam klorida sangat korosif ketika terjadi kontak dengan epitel, terutama epitel lembab.

DISTRIBUSI 
Klorin adalah gas beracun yang menimbulkan iritasi sistem pernafasan. Karena lebih berat daripada udara, klorin cenderung terakumulasi di bagian bawah ruang berventilasi buruk atau dataran yang rendah dan akan menetap di daerah rendah itu kecuali angin atau kondisi lain memberikan gerakan udara. Terbentuknya gas klorin di udara ambien merupakan efek samping dari proses pemutihan (bleaching) dan produksi zat atau senyawa organik yang mengandung klor. Karena banyaknya penggunaan senyawa klor di lapangan atau dalam industri dalam dosis berlebihan seringkali terjadi pelepasan gas klorin akibat penggunaan yang kurang efektif. Hal ini dapat menyebabkan terdapatnya gas pencemar klorin dalam kadar tinggi di udara ambien. Karena digunakan secara luas di lokasi industri dan komersial, paparan klorin dapat terjadi dari sebuah kecelakaan tumpahan atau pelepasan, atau dari serangan teroris yang disengaja seperti dalam Perang Dunia I dan perang Irak.

Dampak 
Selain bau yang menyengat gas klorin dapat menyebabkan iritasi pada mata saluran pernafasan. Apabila gas klorin masuk dalam jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hidrogen akan dapat membentuk asam klorida yang bersifat sangat korosif dan menyebabkan iritasi dan peradangan. diudara ambien, gas klorin dapat mengalami proses oksidasi dan membebaskan oksigen. Dengan adanya sinar matahari atau sinar terang maka HOCl yang terbentuk akan terdekomposisi menjadi asam klorida dan oksigen. Selain itu gas klorin juga dapat mencemari atmosfer. Pada kadar antara 3,0 – 6,0 ppm gas klorin terasa pedas dan memerahkan mata. Dan bila terpapar dengan kadar sebesar 14,0 – 21,0 ppm selama 30 –60 menit dapat menyebabkan penyakit paru-paru ( pulmonari oedema ) dan bisa menyebabkan emphysema dan radang paru-paru. Eksposur klorin paling berbahaya adalah akibat dari inhalasi. Semakin parah tingkat eksposur klorin, semakin berat gejalanya. Namun, tingkat terkecil eksposur untuk klorin pun dapat menyebabkan mata, hidung, dan tenggorokan terbakar. Efek pada kesehatan biasanya dimulai dalam beberapa detik sampai menit. Gejala dari eksposur klorin yang paling umum adalah :
·       Iritasi saluran pernapasan
·       Napas mendesah
·       Kesulitan bernapas
·       Sakit tenggorokan
·       Batuk
·       Dada sesak
·       Iritasi mata
·       Iritasi kulit
Klorin sangat potensial untuk terjadinya penyakit di kerongkongan, hidung dan trakt respiratory (saluran kerongkongan didekat paru-paru). Akibat-akibat akutnya bagi saluran pernapasan antara lain:
·    0,2 ppm : hidung terasa gatal
·    1,0 ppm : kerongkongan gatal atau rasa kering, batuk, susah nafas
·    1,3 ppm (30 menit) : sesak nafas berat dan kepala sangat pening
·    5 ppm : peradangan hidung, pengkaratan gigi dan sesak nafas.
·    10,0 ppm : trakt respiratori menjadi sangat terganggu
·    15-20 ppm : batuk lebih keras, terasa tercekik, sesak di dada
·    30 ppm : batuk hebat, tercekik, sesak nafas, dan muntah-muntah
·    250 ppm : kemungkinan besar dapat menyebabkan kematian
·    1000 ppm : kematian
Karena klorin lebih berat daripada udara, klorin dapat mendorong udara di sebuah ruangan di atas dirinya untuk bergerak. Jika kebocoran terjadi di tempat yang berventilasi buruk, tertutup, atau daerah dataran rendah dapat menyebabkan korban keterpajanan mati lemas Eksposur klorin tidak sering mengakibatkan efek jangka panjang atau efek kesehatan kronis. Efek jangka panjang biasanya ditemukan dengan orang-orang yang telah terpapar klorin berulang-ulang. Klorin eksposur ulang ini dapat mengiritasi paru-paru dan mengakibatkan batuk, produksi lendir, atau sesak napas yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau dalam beberapa kasus selama bertahun-tahun, pengkaratan pada gigi, tua sebelum waktunya, dan besar kecenderungan munculnya penyakit paru-paru seperti tbc dan emphisema Merokok juga dapat memperburuk efek baik kronis atau akut klorin eksposur.

Pengendalian
Prosedur Penanganan Penyimpanan Klor
·    Sebelum bekerja dengan bahan yang mengandung klor, pekerja harus dilatih dalam penanganan dan penyimpanan dan tahu cara menggunakan peralatan pelindung pribadi yang tepat.
·    Klor harus disimpan di tempat yang sejuk, kering, area yang berventilasi baik dalam wadah tertutup rapat terlindung dari paparan cuaca, perubahan suhu ekstrem, dan kerusakan fisik.
·    Wadah harus disimpan secara terpisah dari gas yang mudah terbakar, uap, dan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti bensin, produk-produk minyak bumi, produk-produk berbasis alkohol, amonia, sulfur, hidrokarbon, dan asetilena. Klor bersifat oksidator, artinya tidak mudah terbakar, tetapi jika kontak dengan bahan-bahan diatas dapat mengakibatkan kebakaran atau ledakan. Sumber penyulut biasanya mencakup merokok atau api terbuka. Klor adalah oksidator kuat sehingga harus dipisahkan klorin dan senyawaan klorin dengan bahan yang tidak kompatibel.
·    Jika terjadi kebakaran mendadak di sekitar klorin silinder, pindahkan segera klorin jika bisa dilakukan dengan aman. Jika pemindahan tidak mungkin dilakukan, dinginkan silinder yang tidak bocor dengan penyemprotan air. Jangan pernah menggunakan bahan kimia atau karbon dioksida sebagai alat pemadam jika klorin terlibat dalam api.

Alat Pelindung Diri Personal
Pakaian
Hindari kontak kulit dengan kaporit. Gunakan pelindung sarung tangan dan pakaian tahan bahan kimia dan jaga pakaian tetap bersih serta bebas dari minyak dan lemak.
Perlindungan mata
Gunakan kacamata kimia (goggles) dan pelindung wajah (face shield) ketika bekerja dengan cairan klorin, kecuali jika sedang menggunakan pelindung respirator pada seluruh wajah. Goggle dengan pelindung wajah harus dipakai bila ada paparan gas klorin atau risiko eksposur gas.
Pelindung Respirator (pernapasan)
Perlindungan pernapasan harus sesuai NIOSH ((National Institute for Occupational Safety and Health) yang disetujui secara khusus untuk klorin dan digunakan sesuai dengan Standar OSHA untuk perlindungan pernapasan,  

Manajemen Pertolongan Pertama
Aksi yang tepat  dan cepat sangat penting jika ada klorin tumpah atau bocor. Jika tumpahan atau kebocoran klorin terjadi, tindakan yang seharusnya dilakukan antara lain berikut:
·    Evakuasi orang-orang yang berada di lokasi ke tempat yang aman dengan berjalan melawan arah angin
·    Pindahkan korban yang terpajan ke udara segar
·    Beritahu personil keamanan perusahaan atau pihak yang berwajib
·    Jika korban tidak bernapas, mulailah memberi pernapasan buatan.
·    Jika korban bernapas, tempatkan dalam posisi duduk atau berbaring dengan kepala dan tubuh bagian atas dalam posisi tegak lurus. Encourage slow, deep, regular breaths. Dorong napas dengan perlahan, dalam, dan teratur. Berikan Professional Administer Oxygen sesegera mungkin.
·    Jaga korban tetap hangat dan tenang.
·    Korban dengan gejala yang serius perlu dibawa ke rumah sakit.

Dekontaminasi
Pakaian atau kulit korban yang tereksposur larutan kaporit mungkin bersifat kaustik dan dapat mengekspos penyelamat seperti pada korban. Penanganan untuk dekontaminasi:
·    Lepaskan pakaian basah dari korban dan segera simpan dalam tas berlapis ganda
·    Basuh kulit dan rambut yang terpajan dengan air selama 2-3 menit lalu cuci dua kali dengan menggunakan sabun. Kemudian bilas bersih dengan air.
·    Basuh mata yang terpajan atau teriritasi dengan air atau garam selama 15-30 menit. Jika orang itu memakai lensa kontak, cobalah untuk melepasnya.

Minggu, 28 Februari 2010

Air Borne Disease


Oksigen merupakan kebutuhan utama manusia yang paling esensial. Saat ini, masyarakat di kota-kota besar sudah sulit mendapat udara yang bersih dan segar karena tingginya tingkat pencemaran udara akibat asap kendaraan bermotor dan kegiatan pabrik. Kondisi pencemaran udara seperti ini mengakibatkan logam-logam berat berbahaya, virus, bakteri dan mikroorganisme lainnya bercampur baur dan masuk ke dalam tubuh melalui tarikan napas kita.
Segolongan pencemar yang bersifat biologis sangat penting artinya di Indonesia, terutama yang berada diudara tidak bebas seperti didalam perumahan penduduk, rumah-rumah sakit, gedung-gedung umum, pabrik, dan gedung-gedung lainnya. Golongan ini terdiri atas berbagai jenis microba pathogen, baik jamur, metazoan, bakteri, maupun virus. Penyakit yang disebabkannya seringkali diklasifikasikan sebagai penyakit yang menyebar lewat udara (air borne diseases).
Penyakit yang ditularkan melalui udara antara lain pneumonia, SARS, flu/influenza, TBC, dan campak.
Pneumonia Pneumonia atau yang dikenal dengan nama penyakit radang paru-paru ditandai dengan gejala yang mirip dengan penderita selesma atau radang tenggorokan biasa, antara lain batuk, panas, napas cepat, napas berbunyi hingga sesak napas, dan badan terasa lemas.
Penyakit ini umumnya terjadi akibat bakteri Streptococus pneumoniae dan Hemopilus influenzae yang berterbangan di udara terhirup masuk ke dalam tubuh. Bakteri tersebut sering ditemukan pada saluran pernapasan, baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Selain dapat menimbulkan infeksi pada paru-paru, bakteri berbahaya itu juga dapat mengakibatkan radang selaput pada otak (meningitis) serta infeksi pembuluh darah yang amat fatal.
Kasus pneumonia banyak terjadi di daerah yang sistem sanitasinya buruk. Untuk itu, menjaga kebersihan di lingkungan sekitar anda menjadi syarat utama agar terhindar dari penyakit ini, selain membiasakan diri untuk hidup bersih dan sehat. Biasakan mencuci tangan menggunakan sabun dan segera periksakan diri ke dokter jika mendapati gejala tersebut di atas.
Bila ditemukan banyak kasus pneumonia di suatu wilayah, sebaiknya segera lakukan upaya preventif berupa kunjungan pemeriksaan dan penyuluhan dari rumah ke rumah oleh petugas Puskesmas dan jika perlu melakukan pengobatan. Tutup mulut dan hidung dengan menggunakan masker untuk mencegah masuknya kuman ketika berada di wilayah endemik pneumonia.
SARS Sindrom pernapasan akut parah atau Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) merupakan penyakit yang ditandai dengan gejala awal gangguan pernapasan berupa napas pendek dan terkadang disertai batuk. Penyebab SARS adalah Coronavirus, yaitu virus yang bersifat menular dan umumnya menyerang saluran pernapasan atas, virus ini juga dapat menyebabkan flu.
Penyebaran terbanyak penyakit ini adalah di Asia, terutama Cina dan Hong Kong. Sementara itu, di Indonesia sendiri, menurut data terakhir Badan Kesehatan Dunia (WHO) baru ditemukan 7 kasus suspect, 2 kasus probable, dan belum ada satu pun kasus kematian akibat penyakit ini (WHO, 21 Juli 2006).
SARS adalah stadium lanjut dari pneumonia sehingga gejala awal yang dialami penderita juga mirip dengan flu biasa. Namun, demam yang menyerang penderita SARS dapat mencapai 38 derajat Celcius yang terkadang disertai dengan menggigil, sakit kepala, perasaan lesu, serta nyeri tubuh.
Pada stadium awal penyakit biasanya penderita akan mengalami gangguan pernapasan ringan selama tiga sampai tujuh hari. Jika tidak segera diatasi, besar kemungkinan penderita mengalami batuk kering yang dapat menimbulkan kekurangan oksigen dalam darah. Pada beberapa kasus, penderita akan memerlukan napas bantuan mengunakan ventilator (alat bantu pernapasan). Belum ditemukan vaksin untuk mencegah penyakit ini, sehingga yang dibutuhkan adalah sikap waspada agar tidak terjangkit. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain:
· Mencuci tangan sesering mungkin.
· Bila bersentuhan dengan sesuatu yang banyak mengandung kuman atau kotoran, gunakan alkohol untuk membunuh bakteri yang menempel di kulit. Hindari menyentuh mulut, mata, hidung dengan tangan yang kotor. Gunakan masker apabila menderita batuk/pilek agar kuman dan bakteri tidak menyebar ke orang lain.
· Sebagian besar infeksi terjadi di rumah sakit, karena itu kurangi frekuensi mengunjungi ruangan dengan tingkat infeksi tinggi.
INFLUENZA
Ada tiga cara penularan virus yang dapat terjadi pada saat pandemi influenza yaitu penularan melalui kontak, droplet, dan udara (airborne).
· Penularan melalui kontak
Terjadi manakala adanya kontak kulit yang sudah terkontaminasi (kontaminasi kulit akibat kontak kulit dengan kulit penderita flu yang terkontaminasi) dengan permukaan tubuh seperti mukosa mata atau hidung. Penularan melalui kontak juga dapat terjadi jika ada kontak seseorang yang rentan dengan objek tercemar yang berada di lingkungan penderita flu.
· Penularan melalui percikan (droplet)
Terjadi melalui kontak dengan cairan dari mata (konjungtiva), membran mukosa hidung atau mulut individu yang rentan oleh percikan partikel besar (>5 ?m [mikron] ) yang mengandung mikroorganisme. Berbicara, batuk, bersin dan tindakan seperti pengisapan lender dan bronkoskopi dapat menyebarkan organism. Biasanya droplet hanya tersebar melalui jarak yang pendek lewat udara tapi bisa mengenai mata, mulut, atau hidung orang yang tidak menggunakan alat pelindung, atau mengenai permukaan lingkungan sekitar. Droplet tidak melayang terus di udara.
· Penularan melaui udara (airborne)
Terjadi melalui penyebaran partikel kecil [<>Partikel ini dapat tersebar dengan cara batuk, bersin, berbicaradan tindakan seperti bronkoskopi atau pengisapan lendir. Partikel infeksius dapat menetap di udara selama beberapa jam dan dapat disebarkan secara luas dalam suatu ruangan atau dalam jarak yang lebih jauh. Pengelolaan udara secara khusus dan ventilasi diperlukan untuk mencegah transmisi melalui udara.
Para ahli memprediksikan skenario penularan virus pada saat pandemi influenza selanjutnya adalah melalui kontak dan droplet, karena relative dapat lebih dikendalikan jika dibanding dengan penularan melalui udara. Tetapi, semua kemungkinan harus dipersiapkan dalam kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza.
Sejarah telah mencatat, pada abad yang lalu telah terjadi tiga kali peristiwa pandemi Influenza yaitu: Ke satu “Flu Spanyol” di Amerika Serikat akibat penyebaran virus Influenza (H1N1) tahun 1918-1919 yang telah menyebabkan kematian sekitar 40-50 juta orang; kemudian ke dua yaitu “Influenza Asia (H2N2)” yang menyebabkan kematian sekitar 2-4 juta penduduk; serta kejadian ke tiga berupa “Flu Hongkong (H3N2)” pada tahun 1968 dan menyebabkan kematian sekitar 1 juta orang.
Sehubungan dengan hal tersebut, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memperingatkan semua negara bahwa virus Avian Influenza (H5N1) yang saat ini telah menyebar di banyak negara di Dunia, berpotensi risiko signifikan untuk menyebabkan terjadinya pandemi Influenza berikutnya pada manusia, yang kemungkinan sama hebatnya dengan pandemi yang terjadi pada tahun 1918/1919 yang bakal menyebabkan kematian jutaan orang diseluruh dunia.
Avian Influenza atau flu burung adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza H5N1. Virus yang membawa penyakit ini terdapat pada unggas dan dapat menyerang manusia. Flu burung terkadang sulit terdeteksi pada stadium awal, karena gejala klinis penyakit ini sangat mirip dengan gejala flu biasa,antara lain demam, sakit tenggorokan, batuk, pilek, nyeri otot, sakit kepala, dan lemas. Namun, dalam waktu singkat penyakit ini dapat menyerang paru-paru dan menyebabkan peradangan (pneumonia). Jika tidak dilakukan penanganan segera, pada banyak kasus penderita akan meninggal dunia.
Virus influenza H5N1 merupakan penyebab wabah flu burung pada unggas dan memiliki sifat dapat bertahan hidup di air hingga empat hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C. Penularan virus flu burung berlangsung melalui saluran pernapasan. Unggas yang terinfeksi virus ini akan mengeluarkan virus dalam jumlah besar di kotorannya. Manusia dapat terjangkit virus ini bila kotoran unggas bervirus ini menjadi kering, terbang bersama debu, lalu terhirup oleh saluran napas manusia.
Walaupun secara umum virus H5N1 tidak menyerang manusia, dalam beberapa kasus tertentu virus mengalami mutasi lebih ganas sehingga dapat menyerang manusia. Upaya pencegahan penularan virus flu burung adalah senantiasa menjaga sanitasi lingkungan. Pola hidup yang tidak menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan akan mempercepat penyebaran virus ini. Selain itu, rajinlah mencuci tangan, jangan sembarangan mengorek lubang hidung jika jemari belum dicuci dengan sabun. Waspadai semua kotoran unggas peliharaan, kandang, sangkar maupun kotoran burung liar.
TBC Jika menemukan gejala seperti batuk yang tak kunjung sembuh, banyak berkeringat pada malam hari, demam, serta berat badan yang menurun drastis, waspadalah, karena ini adalah gejala awal penyakit TBC.
Tubercolosis atau TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke dalam paru-paru. Dari paru-paru bakteri tersebut menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas (bronchus) atau menyebar langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tapi juga anak-anak.
Penyakit ini banyak ditemukan di negara miskin dan berkembang di dunia. Asia Tenggara termasuk salah satu daerah penyebaran TBC yang paling tinggi, sementara di Indonesia, penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor satu untuk golongan penyakit infeksi.
Bakteri Mycobacterium tuberculosis menular ke manusia melalui udara. Karena itu, cegahlah tubuh anda dengan senantiasa mengonsumsi makanan yang sarat gizi, pengadaan ventilasi yang memadai di dalam rumah sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi udara bersih, dan membiasakan diri hidup bersih dan sehat.
CAMPAK
Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit.
Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus campak golongan Paramyxovirus.Penularan infeksi terjadi karena menghirup percikan ludah penderita campak. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada.
Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit ini.
Campak, rubeola, atau measles Adalah penyakit infeksi yang sangat mudah menular atau infeksius sejak awal masa prodromal, yaitu kurang lebih 4 hari pertama sejak munculnya ruam. Campak disebabkan oleh paramiksovirus ( virus campak). Penularan terjadi melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak (air borne disease ). Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.
Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah: - bayi berumur lebih dari 1 tahun - bayi yang tidak mendapatkan imunisasi - remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.