Sabtu, 02 Juli 2011

Global Warming, Climate Change, dan Perkembangan Vektor Borne Disease

Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi tersebut. Konvensi Perubahan Iklim telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994. Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sehingga terjaminnya ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim atau pemanasan global adalah peningkatan suhu udara di permukaan bumi dan di lautan yang dimulai sejak abad ke-20 dan diprediksikan akan terus mengalami peningkatan. Sebagian besar ilmuwan lebih menggunakan terminologi perubahan iklim daripada pemanasan global karena yang terjadi tidak hanya fenomena bertambah panasnya suhu udara, tetapi juga iklim yang berubah.
Radiasi yang dipancarkan oleh matahari, menembus lapisan atmosfer dan masuk ke bumi. Radiasi matahari yang masuk ke bumi -dalam bentuk gelombang pendek- menembus atmosfer bumi dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun, tidak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar karena sebagian dihadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer yang disebut gas rumah kaca (GRK). Akibatnya radiasi matahari tersebut terperangkap di atmosfer bumi. Karena peristiwa ini berlangsung berulang kali, maka kemudian terjadi akumulasi radiasi matahari di atmosfer bumi yang menyebabkan suhu di bumi menjadi semakin hangat. Arus angin dan laut lalu memindahkan panas ini ke segala penjuru bumi. Pergerakan tersebut mendinginkan beberapa wilayah, memanaskan beberapa wilayah lainnya, dan mengubah jumlah curah hujan dan salju yang turun ke suatu tempat. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pola iklim global.
Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Gas ini berkemampuan untuk menyerap radiasi matahari di atmosfer sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi lebih hangat. Meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer akibat aktivitas manusia pada akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi secara global. Dalam Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCCC), ada enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs).
Suhu rata-rata udara di permukaan Bumi meningkat 0,75ºC pada abad lalu, tetapi naiknya berlipat ganda dalam 50 tahun terakhir. Badan PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), memproyeksikan bahwa pada tahun 2100 suhu rata-rata dunia cenderung akan meningkat dari 1,8ºC menjadi 4ºC, dan skenario terburuk bisa mencapai 6,4ºC, kecuali dunia mengambil tindakan untuk membatas emisi gas rumah kaca. Selama zaman es terakhir sekitar 11.500 tahun yang lalu, suhu rata-rata dunia hanya 5ºC lebih rendah daripada suhu udara sekarang, dan saat itu hampir seluruh benua Eropa tertutup lapisan es tebal.
 
Penyebab Pemanasan Global 
Pemanasan global merupakan fenomena global yang disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia, pertambahan populasi penduduk, serta pertumbuhan teknologi dan industri. Oleh karena itu peristiwa ini berdampak global. Aktivitas manusia yang dapat menimbulkan efek gas rumah kaca dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu: 
  1. Kerusakan hutan termasuk perubahan tata guna lahan. Salah satu fungsi tumbuhan yaitu menyerap karbondioksida (CO2), yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca, dan mengubahnya menjadi oksigen (O2). Kerusakan hutan terutama disebabkan oleh penebangan liar, kebakaran hutan (yang disengaja dan tidak disengaja), perkebunan skala besar serta kerusakan- kerusakan yang ditimbulkan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi GRK (biasa juga disebut emisi karbon). Hutan dapat menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis GRK, menjadi oksigen (O2) yang merupakan kebutuhan utama bagi mahluk hidup. Ini berarti dengan luasan hutan Indonesia yang cukup luas, sekitar 144 juta ha (tahun 2002), sudah tentu emisi karbon yang dapat diserap jumlahnya tak sedikit, sehingga laju terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim dapat dihambat.
  2. Pemanfaatan energi fosil. Sektor industri merupakan penyumbang emisi karbon terbesar, sedangkan sektor transportasi menempati posisi kedua. Menurut Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2003), konsumsi energi bahan bakar fosil memakan sebanyak 70% dari total konsumsi energi, sedangkan listrik menempati posisi kedua dengan memakan 10% dari total konsumsi energi. Dari sektor ini, Indonesia mengemisikan gas rumah kaca sebesar 24,84% dari total emisi gas rumah kaca. Indonesia termasuk negara pengkonsumsi energi terbesar di Asia setelah Cina, Jepang, India dan Korea Selatan. Konsumsi energi yang besar ini diperoleh karena banyaknya penduduk yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energinya, walaupun dalam perhitungan penggunaan energi per orang di negara berkembang, tidak sebesar penggunaan energi per orang di negara maju.
  3. Pertanian dan peternakan. Sektor ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca melalui sawah-sawah yang tergenang yang menghasilkan gas metana, pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman, dan pembusukan sisa-sisa pertanian, serta pembusukan kotoran ternak. Dari sektor ini gas rumah kaca yang dihasilkan yaitu gas metana (CH4) dan gas dinitro oksida (N20).  Di Indonesia, sektor pertanian dan peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 8.05 % dari total gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer.
  4. Sampah. Sampah menghasilkan gas metana (CH4). Diperkirakan satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Sampah merupakan masalah besar yang dihadapi kota-kota di Indonesia. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 0,8 kg/hari dan pada tahun 2000 terus meningkat menjadi 1 kg/hari. Dilain pihak jumlah penduduk terus meningkat sehingga, diperkirakan, pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan mencapai 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Dengan jumlah ini maka sampah akan mengemisikan gas metana sebesar 9500 ton/tahun. Dengan demikian, sampah di perkotaan merupakan sektor yang sangat potensial, mempercepat proses terjadinya pemanasan global.
Dampak Pemanasan Global Terhadap Kesehatan
Perubahan suhu global akan berdampak pada perubahan iklim dan akan menambah daftar risiko kesehatan lingkungan bagi manusia. Sebagai akibat terjadinya pemanasan global, akan terjadi peristiwa kenaikan temperatur global yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara dan selatan sehingga mengakibatkan terjadinya pemuaian massa air laut, kenaikan permukaan air laut dan masuknya atau merembesnya air laut ke air tanah, dan terjadi pergeseran musim sebagai akibat dari adanya perubahan pola curah hujan.  Perubahan iklim mengakibatkan intensitas hujan yang tinggi pada periode yang singkat serta musim kemarau yang panjang. Di beberapa tempat terjadi peningkatan curah hujan sehingga meningkatkan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor, sementara di tempat lain terjadi penurunan curah hujan yang berpotensi menimbulkan kekeringan. Sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang makin tajam. 
Paparan terhadap perubahan-perubahan lingkungan di atas dapat menimbulkan berbagai problem kesehatan, seperti penyakit-penyakit terkait suhu dan cuaca ekstrim, penyakit yang menular lewat makanan, air dan vektor serta penyakit akibat pencemaran udara. dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain. Intensitas hujan yang tinggi dengan periode yang singkat akan menyebabkan bencana banjir. Jika terjadi banjir maka akan mengkontaminasi persediaan air bersih. Pada akhirnya perubahan iklim juga berdampak pada mewabahnya penyakit seperti diare dan leptospirosis yang biasanya muncul pasca banjir. Sementara kemarau panjang juga berdampak pada timbulnya krisis air bersih. Sehingga juga berdampak pada wabah penyakit diare dan juga penyakit kulit.
Selain itu, kebakaran hutan juga menghasilkan kualitas udara yang buruk dan menurunkan derajat kesehatan penduduk di sekitar lokasi. Peristiwa kebakaran hutan tahun 1997 mengakibatkan sekitar 12,5 juta populasi (di delapan provinsi) terpapar asap dan debu (PM10). Penyakit yang timbul adalah asma, bronkhitis dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Diduga kebakaran hutan juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan bagi wanita (Tempo, 27 Juni 1999). Menurunnya kesehatan penduduk mengakibatkan kerugian berupa hilangnya 2,5 juta hari kerja. Kebakaran hutan juga menyebabkan kematian sebanyak 527 kasus (KLH, 1998)

Perubahan Iklim dan Vector Borne Disease
 Sebagai sebuah fenomena global, dampak pemanasan global dirasakan oleh seluruh manusia di dunia, termasuk Indonesia. Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, menempatkan Indonesia dalam kondisi yang rentan menghadapi terjadinya pemanasan global.
Penularan beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor iklim, khususnya suhu, curah hujan, kelembaban, permukaan air, dan angin. Begitu juga dalam hal distribusi dan kelimpahan dari organisme vektor dan host intermediate. Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector borne disease) seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim. Pemanasan iklim global terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia akan meningkatkan kelembaban udara yang tinggi lebih dari 60% dan merupakan keadaan dan tempat hidup yang ideal untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, Anopheles dan Culex.
Kenaikan suhu udara akan menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek sehingga nyamuk makin cepat untuk berkembangbiak. Meningkatnya kejadian vector borne disease terjadi karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (nyamuk), virus, bakteri, dan plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang targetnya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perubahan ekosistem yang ekstrem ini. Hal ini juga terkait dengan musim hujan tidak menentu sepanjang tahun.
Diperkirakan bahwa rata-rata suhu global akan meningkat 1,0° - 3,5° C pada tahun 2100, yang akan meningkatkan jumlah vector-borne disease dan terjadinya transmisi penyakit. Perubahan iklim akan memiliki dampak jangka panjang dan jangka pendek terhadap transmisi penyakit malaria. Dalam jangka pendek dapat dilihat pada suhu dan curah hujan. Udara panas dan lembab paling cocok untuk nyamuk Anopheles.
Dulu, nyamuk Anopheles lebih sering muncul di musim pancaroba, transisi antara musim hujan dan kemarau. Namun kini rentang waktu serangan nyamuk ini hampir sepanjang tahun. Udara panas lembab berlangsung sepanjang tahun, ditambah dengan sanitasi buruk yang selalu menyediakan genangan air untuk bertelur, sehingga nyamuk Anopheles dapat menyerang sewaktu-waktu secara ganas. WHO menjelaskan bahwa kontribusi perubahan iklim terhadap kasus malaria mencapai 6% di sejumlah negara. Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa inkubasi intrinsik. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi intrinsik, begitu juga sebaliknya. Siklus hidup nyamuk makin pendek, populasinya mudah meledak dan penularan semakin cepat. Sejak tahun 1988, terdapat sejumlah laporan mengenai epidemi malaria di Afrika Selatan dan Timur. Selama periode ini terjadi peningkatan suhu sekitar 2° C pada rata-rata suhu maksimum bulanan antara daerah pada 2° LU - 2° LS dan 30° BB - 40° BT.
Selanjutnya epidemi malaria yang berhubungan dengan iklim juga dilaporkan di Rwanda, Tanjania dan Kenya Barat. Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan (breeding places). Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya Anopheles.
Banyak tempat kejadian malaria berhubungan dengan musim hujan, namun korelasinya tidak selalu jelas dan terkadang anomali. Hujan akan menguntungkan perkembang biakan nyamuk jika tidak terlalu deras, karena bila terlalu deras akan membilas larva nyamuk. Namun di daerah lain, musim kemarau justru menyebakan epidemi malaria, juga sebaliknya di daerah lain dapat melenyapkan nyamuk Anopheles. Variasinya amat beragam, sehingga pengaruh hujan hanya dapat diperkirakan hubungannya dalam pola lokal perkembang biakan vektor.
Hujan juga dapat meningkatkan kelembaban relatif, sehingga memperpanjang usia nyamuk dewasa. Curah hujan minimum yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang adalah 1,5 mm per hari. Curah hujan 150 mm per bulan mengakibatkan perkembangan yang pesat populasi An. gambiae, vektor malaria di Kenya (Malakooti, dalam Susanna, 2005). Suwasono dalam Susanna (2005) dalam studinya di Kabupaten Kulonprogo, menunjukkan bahwa kasus malaria meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang relatif tinggi.
Perubahan iklim sudah mulai terasa dampaknya bagi umat manusia. Oleh karena itu diperlukan beberapa upaya untuk mengurangi laju perubahan iklim. Upaya-upaya ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu pemerintah. Perlu integrasi dari berbagai pihak yang terkait antara pihak pemerintah dengan pihak industri dan masyarakat, baik itu dalam hal sosialisasi agar masyarakat dapat mulai paham akan isu perubahan iklim, maupun program aksi nyata untuk memperlambat laju perubahan iklim.

Referensi
Armely M, dkk. (2004). Bumi Makin Panas. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Yayasan Pelangi Indonesia.
Dini, A. M. V, Rina N. F, Ririn A. W. (2010). Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam Berdarah. Makara Kesehatan , 31-38.
Susanna, D. 2005 Pola Penularan Malaria Di Ekosistem Persawahan, Perbukitan Dan Pantai (Studi di Kabupaten Jepara, Purworejo Dan Kota Batam). Disertasi. Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
www.infopemanasanglobal.wordpress.com. (2009, Maret 8). Retrieved Juni 25, 2011
www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global. (2011). Retrieved Juni 25, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar